Padatahun 2016, Komnas HAM merilis Inkuiri Nasional tentang tentang Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan yang hasilnya menunjukkan adanya pelanggaran hak masyarakat disertai tindakan kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi. Sebanyak 125 masyarakat adat menjadi korban kriminalisasi akibat konflik lahan. KASUSPELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MALUKU. 11Konflik dan kekerasan yang terjadi di Kepulauan Maluku sekarang telah berusia 2 tahun 5 bulan; untuk Maluku Utara 80% relatif aman, Maluku Tenggara 100% aman dan relatif stabil, sementara di kawasan Maluku Tengah (Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Seram dan Buru) sampai saat ini masih belum aman dan MenurutUU no 26 Tahun 2000 ini tentang pengadilan HAM dan menyatakan bahwa Pelanggaran HAM yaitu : "setiap perbuatan seseorang atau kelompok dan orang yang termasuk aparat negara baik disengaja maupun kelalaian yang secara hukum untuk mengurangi, menghalangi, membatasi, dan juga mencabut sebuah Hak Asasi Manusia seseorang maupun kelompok. AliansiMasyarakat Peduli HAM "Salam Kemanusiaan " Kami yang tergabung dalam "ALIANSI MASYARAKAT PEDULI-HAM" di antaranya: Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB-HMI), DPC GMNl-Jaktim, Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI), Gerakan Pemuda Mahasiwa Indonesia (GPMI), Ikatan Pemuda Mahasiswa Tamilouw (lPEMTA-Jakarta), Ikatan Sedarah Hena Puan-Jabodetabek, Tamilouw Hummuri, Siri Mahfudbaru saja mengikuti Sidang Tahunan Ke-50 Komisi Tinggi (KT) Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss, pada tanggal 13—14 Juni 2022. Vay Tiền TráșŁ GĂłp 24 ThĂĄng. 67% found this document useful 3 votes1K views2 pagesDescriptionDOWNLOAD ARTIKEL KASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MALUKUOriginal TitleKASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MALUKUCopyright© Attribution Non-Commercial BY-NCAvailable FormatsPDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?67% found this document useful 3 votes1K views2 pagesKasus Pelanggaran Ham Yang Terjadi Di MalukuOriginal TitleKASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MALUKUDescriptionDOWNLOAD ARTIKEL KASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MALUKUFull descriptionJump to Page You are on page 1of 2 You're Reading a Free Preview Page 2 is not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime. Jakarta ANTARA - Isu terkait penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia HAM berat masa lalu seolah timbul-tenggelam dan menjadi perbincangan yang tidak pernah usai di ranah publik. Tidak sedikit publik yang bertanya bagaimana sebetulnya komitmen pemerintahan Joko Widodo dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Jika ditelisik, perjalanan penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu di masa pemerintahan Joko Widodo sudah cukup panjang dan berkelanjutan hingga saat ini. Di awal masa jabatannya sebagai Presiden RI pada tahun 2014, Jokowi tercatat langsung berupaya mengangkat isu penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu, misalnya dengan menemui korban pelanggaran HAM pada peringatan Hari HAM Sedunia 9 Desember 2014 di Yogyakarta, untuk mendengarkan aspirasi korban. Hal ini dilakukan hanya berselang dua bulan sejak Jokowi dilantik sebagai Presiden, 20 Oktober 2014. Kemudian pada tahun 2015 digagas pembentukan Komite Rekonsiliasi dan Komite Pengungkapan Kebenaran. Selang satu tahun kemudian, pada tahun 2016, digelar simposium nasional tentang peristiwa 1965/1966 dan rencana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional, juga pada tahun 2016. Namun, hal ini mendapat penolakan publik dengan berbagai alasan. Selanjutnya pada Mei 2018, Presiden tercatat menerima audiensi keluarga korban pelanggaran HAM di Istana, guna mendengar aspirasi dan harapan korban. Pada tahun yang sama dibentuk pula Tim Gabungan Terpadu tentang Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Langkah dan upaya penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu pun tidak surut pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo. Pada 2019, atau awal masa pemerintahan periode kedua Jokowi, dimulai pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, setelah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006. Pada 2021, Jaksa Agung mulai menyidik dugaan pelanggaran HAM di Paniai pada tahun 2014. Kemudian pada Sidang Tahunan MPR 16 Agustus 2022, Presiden Joko Widodo kembali menyinggung penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu. Di hadapan Sidang Tahunan MPR di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, kala itu, Jokowi menekankan bahwa penyelesaian dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu terus menjadi perhatian serius pemerintah. Menurut Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden KSP Siti Ruhaini Dzuhayatin pernyataan Presiden tersebut membuktikan komitmen Jokowi dalam menuntaskan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak pernah surut. Hal itu menunjukkan bahwa Presiden memang bertekad membebaskan Indonesia dari beban masa lalu yang "menyandera" dan menguras energi bangsa. Berkaca pada pengalaman negara-negara lain, upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu setidaknya perlu ditempuh melalui dua cara, yakni penyelesaian yudisial dan non-yudisial. Secara yudisial, Presiden Jokowi telah menginstruksikan Kejaksaan Agung Kejagung dan mendorong Komnas HAM untuk terus melanjutkan proses hukum atas kasus pelanggaran HAM berat. Sedangkan secara non-yudisial penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dilakukan dengan mengedepankan pengungkapan kebenaran, pemulihan hak-hak korban serta keluarga korban, dan jaminan ketidakberulangan tindakan serupa. Langkah penyelesaian non-yudisial ini sudah dilakukan pemerintahan Joko Widodo dengan membentuk tim penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, melalui Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu atau disebut Tim PPHAM. Selanjutnya, pada Desember 2022, Tim PPHAM menyampaikan laporan dan rekomendasi kepada Pemerintah melalui Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Menkopolhukam Mahfud MD. Mahfud menyebut, laporan dan rekomendasi yang disampaikan oleh Tim PPHAM saat itu terdiri dari laporan yang sifatnya umum atas keseluruhan kasus pelanggaran HAM yang berat dan laporan khusus berdasarkan karakteristik dari masing-masing kasus pelanggaran HAM yang berat. Materi rekomendasi dari PPHAM tersebut memuat beberapa hal, termasuk pengungkapan dan analisis mengenai faktor-faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya pelanggaran HAM yang berat di masa lalu. Selain itu, rekomendasi pemulihan bagi korban atau keluarganya yang selama ini terabaikan serta rekomendasi tentang langkah pencegahan agar pelanggaran HAM yang berat tidak terulang lagi di masa depan. Laporan dan rekomendasi dari Tim Pelaksana PPHAM yang diserahkan terdiri dari 14 kasus, termasuk kasus pelanggaran HAM di Wasior dan Wamena. Selain itu, kasus pelanggaran HAM di Paniai juga masuk dalam rekomendasi Tim PPHAM. Untuk diketahui, kasus Paniai merupakan satu-satunya kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di era Jokowi, tepatnya berlangsung tiga pekan setelah Jokowi menjadi Presiden pada 2014, dan sudah disidangkan dengan perkembangan terakhir terdakwa divonis bebas pada awal Desember 2022. Pada gilirannya kasus Paniai dianggap bukan pelanggaran HAM berat. Karena menurut Jaksa Agung, sebagaimana diutarakan Menko Polhukam Mahfud MD pertengahan Desember tahun lalu, tidak ada bukti yang menyatakan kasus itu pelanggaran HAM berat. Tim Pemantau PPHAM Untuk menyikapi laporan dan rekomendasi Tim PPHAM tentang pelanggaran HAM berat masa lalu, pada 15 Maret 2023, Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, sekaligus Keputusan Presiden Keppres Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat atau Tim Pemantau PPHAM. Pada Inpres Nomor 2 Tahun 2023 tersebut, Jokowi menugaskan 19 kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian K/L selaku Tim Pemantau PPHAM untuk melaksanakan rekomendasi Tim PPHAM, yakni memulihkan hak korban atas peristiwa pelanggaran HAM berat secara adil dan bijaksana serta mencegah agar pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi. Kemenko Polhukam menyatakan kinerja Tim Pemantau PPHAM fokus pada korban pelanggaran HAM berat masa lalu terhadap 12 peristiwa. Hal ini sesuai dengan ketentuan undang-undang bahwa penentuan pelanggaran HAM berat atau bukan adalah kewenangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM. Komnas HAM sudah merekomendasikan 12 peristiwa masuk dalam pelanggaran HAM berat sejak puluhan tahun lalu. Ke-12 peristiwa tersebut adalah era 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari di Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh Tahun 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa Tahun 1997-1998, dan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Selanjutnya ialah Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II tahun 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet tahun 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999, Peristiwa Wasior di Papua tahun 2001-2002, Peristiwa Wamena di Papua tahun 2003, serta Peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, kasus Paniai tidak masuk fokus karena dinilai bukan pelanggaran HAM berat, termasuk juga kasus Timor Timur, Abepura, dan Tanjung Priok. Mahfud MD melalui cuitannya di akun Twitter mohmahfudmd 11 Januari 2023 juga telah menyatakan kasus Timor Timur sudah diadili, tetapi 15 tersangka dibebaskan semua oleh Pengadilan HAM di Mahkamah Agung. Mahfud menyampaikan tersangka yang diadili dari empat kasus, yakni Timor Timur, Abepura, Tanjung Priok, dan Paniai sebanyak 35 orang dibebaskan oleh pengadilan karena dianggap bukan pelanggaran HAM Berat. Adapun berkaitan dengan pembentukan Tim Pemantau PPHAM, Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani mengatakan hal tersebut menunjukkan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu dilaksanakan pemerintahan Joko Widodo secara komprehensif, meliputi berbagai hal, serta berbagai mekanisme, baik non-yudisial dan yudisial. Tim Pemantau PPHAM sendiri terdiri atas tim pengarah dan tim pelaksana yang beranggotakan unsur-unsur pemerintah, tokoh masyarakat, aktivis HAM, akademisi, dan mantan anggota Tim PPHAM yang berjumlah 46 orang, dengan masa tugas sampai 31 Desember 2023. Susunan Tim Pengarah Pemantau PPHAM yaitu Ketua Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Wakil Ketua Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Anggota 1. Menteri Dalam Negeri 2. Menteri Luar Negeri 3. Menteri Agama 4. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia 5. Menteri Keuangan 6. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi 7. Menteri Kesehatan 8. Menteri Sosial 9. Menteri Ketenagakerjaan 10. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 11. Menteri Pertanian 12. Menteri Badan Usaha Milik Negara; 13. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah 14. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 15. Sekretaris Kabinet 16. Jaksa Agung Republik Indonesia 17. Panglima TNI 18. Kapolri, dan 19. Kepala Staf Kepresidenan. Sementara anggota tim pelaksana pemantau PPHAM di luar unsur kementerian/lembaga, yaitu Suparman Marzuki, Ifdhal Kasim, Rahayu Prabowo, Beka Ulung Hapsara, Choirul Anam, Mustafa Abubakar, Harkristuti Harkrisnowo, As'ad Said Ali, Kiki Syahnakri, Zainal Arifin Mochtar, Akhmad Muzakki, Komaruddin Hidayat, Zaky Manuputi, Pastor John Djonga, Mugiyanto, Amiruddin, serta Makarim Wibisono. Belum lama ini Presiden pun menginstruksikan kepada jajaran agar menindaklanjuti rekomendasi Tim PPHAM terkait penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat. Bagi Kemenko Polhukam, penyelesaian non-yudisial menitikberatkan pada korban pelanggaran HAM berat. Sementara pelaku pelanggaran HAM berat akan diselesaikan secara yudisial, sesuai keputusan Komnas HAM bersama DPR. Pemerintah juga akan melakukan peluncuran program penyelesaian pelanggaran HAM berat non-yudisial yang direncanakan dilaksanakan langsung Presiden Joko Widodo di Aceh ada Juni 2023. Berdasarkan ulasan upaya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu, publik dapat melihat dan menilai sendiri bagaimana komitmen pemerintahan Joko Widodo sejak awal masa pemerintahannya hingga saat ini, dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Proses penyelesaiannya ditempuh melalui dua pendekatan, yakni yudisial terhadap para pelaku dan non-yudisial kepada para korban serta keluarga korban. Sejak 2014, upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat juga tampak terus mengalami perkembangan. Diharapkan segala harapan dan keinginan yang sudah disampaikan Presiden maupun masyarakat tentang penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, dapat direspons dengan baik oleh jajaran maupun lembaga-lembaga peradilan. Hal ini tentu saja bukan untuk kepentingan pemerintahan Joko Widodo, melainkan demi memberikan keadilan kepada para korban dan keluarga korban kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Berita ini telah tayang di dengan judul Meninjau komitmen Jokowi selesaikan kasus pelanggaran HAM berat AMBON, – Sebanyak kurang lebih 200 orang tenaga honorer yang mengabdi pada Rumah Sakit Umum Daerah RSUD dr Haulussy, selama 4 bulan terakhir belum terbayarkan hak-haknya. Padahal mereka umumnya diperkerjakan sebagai tenaga inti dalam proses pelayanan medis, khususnya dalam melayani apa yang menjadi kebutuhan pelayanan rumah sakit. Sayangnya, upah mereka belum dibayarkan hingga empat 4 bulan gaji. Wakil Ketua Komisi A DPRD Maluku, Yance Wenno, SH mengaku, selaku wakil rakyat Kota Ambon, dirinya sangat menyayangkan kondisi yang dialami para tenaga honorer ini. Menurutnya, mengabaikan hak-hak para tenaga honor ini sudah masuk dalam proses pelanggaran hak asasi manusia HAM. Mereka lanjut Wenno, membiarkan banyak orang menderita dalam banyak hal dan ini tidak boleh dibiarkan. “Jadi ini sebuah proses pelanggaran terhadap hak asasi manusia HAM dan keterlambatan terhadap hak-hak honorer tentu membuat mereka menderita, apalagi ditengah kondisi perekonomian yang lagi tidak stabil saat ini. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap aspek kehidupan, “tandas wakil rakyat yang berasal dari daerah pemilihan Dapil Kota Ambon ini kepada awak media di gedung DPRD Maluku Karpan Ambon, Senin 13/03/2023 sore. Menurut Yance Wenno, jika memperkerjakan orang, RSUD Haulussy harus mampu membayarkan para tenaga honorer, apalagi ini sudah memasuki bulan ketiga. Dan kondisi ini, bisa memungkinkan bagi para tenaga honorer untuk menempuh langkah hukum. “Semua orang yang berkerja di semua instansi, termasuk RSUD, ini patut disesalkan dan mempekerjakan orang upahnya harus dibayarkan, ini bagian “Pelanggaran Hak Asasi Manusia” secara hukum mereka bisa menuntut pemerintah karena pemerintah mempekerjakan orang dan menggunakan tenaganya tidak memenuhi hak-hak mereka, ” tegasnya. Sementara itu, Komisi yang membidangi pendidikan dan kesehatan, mengungkapkan, jika persoalan yang tengah dihadapi rumah sakit milik pemerintah daerah Maluku ini, telah ditangani para pimpinan DPRD Maluku. “Persoalan RSUD Haulussy telah ditangani oleh pimpinan dan sebaiknya ditanyakan kesana, saya sudah jenuh dengan para pengelolahnya, “ujar anggota Komisi IV DPRD Maluku, Ibu Tien Renyaan ketika ditanyai seputar masalah menagemen RSUD dr Haulussy. Disinyalir ketidakpatuhan dari Direktur RSUD Haulussy, dokter Zainuddin, tidak terlepas dari kesepakatan awal seputar pembayaran hak-hak pegawai dari dana Rp 38 Milyar yang hingga kini belum direalisasikan pihak managemen. Semestinya dana yang diperuntukan bagi pembayaran tenaga medis pasca covid 19, sudah bisa dicairkan dan dibagikan kepada petugas medis yang berhak menerimanya. Namun saran dan pertimbangan Komisi IV nampaknya diabaikan sang Direktur Zainuddin, bahkan terakhir malah melobi komisi untuk pembagiannya 6040 tapi usaha itu, dimentahkan komisi. Ini belum termasuk dengan tenaga honorer yang belum memperoleh hak-haknya selama empat bulan gaji. Sementara hutang piutang dengan pihak ketiga juga belum dibayarkan, yakni berupa; obat-obatan, oksigen, bahan medis habis pakai termasuk bahan cuci darah. Meski begitu, direktur malah disibukan dengan urusan keberangkatan keluar daerah. Yance Wenno menegaskan, jika semua persoalan itu tidak tuntas ditangani, maka yang bersangkutan sebaikanya diproses hukum. L05 Rabu, 13 Juni 2018 1644 WIB Reformasi menyimpan sejumlah noktah hitam terkait konflik dan pelanggaran HAM. Apa saja catatan kelam yang banyak di antaranya masih menanti penyelesaian itu? PENEGAKAN supremasi hukum dan hak asasi manusia HAM tampaknya masih menjadi pekerjaan rumah terberat yang harus diselesaikan Indonesia sejak republik ini berdiri pada 17 Agustus 20 tahun ke belakang saja, terdapat sejumlah catatan hitam dalam ranah hukum dan HAM. Amanah gerakan Reformasi 1998 terkait supremasi hukum belum juga terwujud. Ini belum bicara keseluruhan konflik sosial apalagi soal sengketa pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu belum juga menemukan titik terang terkait penyelesaiannya. Sampai saat ini, masih ada tujuh kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang "tertahan" di Kejaksaan / GARRY ANDREW LOTULUNGAktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan menggelar aksi Kamisan ke-453 di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis 4/8/2016. Dalam aksi itu mereka menuntut pemerintah menyelesaikan kasus-kasus pelangaran hak asasi manusia di masa lalu dan mengkritisi pelantikan Wiranto sebagai Menko Polhukam karena dianggap bertanggung jawab atas sejumlah kasus pelanggaran HAM di kasus itu adalah Tragedi 1965; Penembakan Misterius 1982-1985; Peristiwa Talangsari di Lampung 1989; Kasus Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998; Kerusuhan Mei 1998; Penembakan Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II 1998-1999; serta Kasus Wasior dan Wamena di Papua 2000.Di sisi lain, rentetan kasus intoleransi keagamaan di Indonesia cenderung meningkat dalam era "kebebasan berdemokrasi". Sejumlah kasus diskriminasi bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan SARA masih saja terjadi di negara berasas Pancasila intoleransi itu berujung konflik berbasis SARA dengan korban jiwa yang tak sedikit. Misalnya, konflik antar-agama yang terjadi di Ambon, Maluku, sepanjang 1999, dan konflik etnis yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah pada di Papua pasca-reformasi juga menarik untuk menjadi perhatian. Berdasarkan laporan Setara Institute pada 2016, terjadi peningkatan pelanggaran HAM di Papua yang sangat signifikan jika dibandingkan tahun ARIYANTO NUGROHOSejumlah mahasiswa asal Papua yang menamakan diri Nasional Papua Solidaritas menggelar aksi masalah pelanggaran hak asasi manusia di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Selasa 5/6/2012. Mereka menuntut pemerintah mengusut sejumlah perlakuan tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang mengorbankan warga sipil di Papua serta meminta keadilan bagi tanah Presiden Joko Widodo diakui telah memberikan perhatian lebih terkait pembangunan infrastruktur, namun mengesampingkan penegakan HAM dan penanganan konflik sosial ini catatan terkait konflik—terutama terkait suku, agama, dan ras—dan polemik HAM yang terjadi sepanjang dua dasawarsa terakhir, dikutip dari dokumentasi harian Kompas, dan sumber kredibel HAM Berat 1996-1999VIK Interaktif Kompas edisi Kejatuhan daripada SoehartoPROSES untuk menjatuhkan kekuasaan Presiden Soeharto dan rezim Orde Baru terbilang tidak mudah. Ada pengorbanan besar saat menyuarakan protes terhadap Soeharto kala terlewat VIK Kejatuhan daripada SoehartoAksi demonstrasi yang berujung mundurnya Soeharto dari jabatan presiden dapat dibilang sebagai akumulasi "kekesalan terpendam" masyarakat atas sejumlah pelanggaran hak asasi manusia HAM yang terjadi sepanjang dua tahun terakhir kekuasaan "The Smiling General" setelah Soeharto jatuh masih saja terjadi sejumlah catatan hitam pelanggaran HAM dalam mengatasi aksi demonstrasi mahasiswa pada represif aparat keamanan disertai penembakan menyebabkan Tragedi Semanggi I dan Semanggi II yang menewaskan sejumlah Juli 1996Peristiwa Sabtu Kelabu 27 Juli 1996 menjadi momentum yang diingat penyerangan terhadap kantor Partai Demokrasi Indonesia yang dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri saat itu menimbulkan korban jiwa akibat intervensi kekuasaan yang mengakibatkan dualisme partai PRANSISKAKeluarga korban tragedi 27 Juli bersama massa dari Forum Komunikasi Kerukunan 124, Rabu 27/7/2011, mendatangi bekas kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, untuk memperingati 15 tahun peristiwa tersebut. Mereka mendesak Presiden menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia, termasuk tragedi 27 Juli penyidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM menyebutkan, kerusuhan tersebut mengakibatkan lima orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang hilang. Kerugian materiil diperkirakan mencapai Rp 100 paksa 1997-1998Rezim Orde Baru kemudian menuding Partai Rakyat Demokratik PRD sebagai dalang Peristiwa 27 Juli 1996. Setelah itu, terjadilah kasus penghilangan orang secara paksa periode SukarjaputraPara aktivis korban kekerasan Orde Baru mengingatkan akan korban yang hilang dan belum kembali dengan memamerkan photo-photo korban serta aksesorisnya pada 1999 laporan penyelidikan Tim Ad Hoc Komnas HAM, setidaknya 23 aktivis pro demokrasi menjadi korban. Hingga sekarang, sembilan orang dikembalikan, satu orang meninggal dunia, dan 13 orang masih hilang. Tragedi Mei 1998Pelanggaran HAM kembali terjadi saat aparat keamanan bersikap represif dalam menangani demonstrasi mahasiswa di depan kampus Universitas Trisakti pada 12 Mei mahasiswa Universitas Trisakti meninggal dan ratusan mahasiswa lain terluka akibat tembakan dengan menggunakan peluru / GARRY ANDREW LOTULUNGAktivis HAM dan keluarga korban pelanggaran HAM memperingati 10 Tahun Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis 19/1/2017. Kamisan sebagai bentuk perlawanan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia dalam melawan lupa telah berlangsung selama 10 tahun sejak aksi pertama di depan Istana Merdeka pada 18 Januari setelahnya, muncul tragedi lain, yaitu Kerusuhan 13–15 Mei peristiwa ini terjadi pembunuhan, penganiayaan, perusakan, pembakaran, penjarahan, penghilangan paksa, perkosaan, serta penyerangan terhadap etnis Semanggi ITragedi ini terjadi pada 13 November 1998. Saat itu mahasiswa berdemonstrasi menolak Sidang Istimewa MPR yang dinilai inkonstitusional, menuntut dihapusnya dwifungsi ABRI, dan meminta Presiden segera mengatasi krisis yang melakukan demonstrasi di sekitar kampus Universitas Atma Jaya, Semanggi, Jakarta, dihalangi aparat bersenjata lengkap dan kendaraan lapis baja. Ketika mahasiswa mencoba bertahan, tiba-tiba terjadi penembakan oleh lima orang mahasiswa menjadi korban. Mereka adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya BR Norma Irmawan, mahasiswa Universitas Negeri Jakarta Engkus Kusnadi, dan mahasiswa Universitas Terbuka Heru mahasiswa universitas Yayasan Administrasi Indonesia YAI Sigit Prasetyo dan mahasiswa Institut Teknologi Indonesia ITI Teddy Wardani Kusuma. Peristiwa ini juga melukai sebanyak 253 orang / GARRY ANDREW LOTULUNGMaria Katarina Sumarsih atau biasa disapa Sumarsih, orangtua Wawan, mahasiswa yang menjadi korban tragedi Semanggi I, beraksi saat aksi Kamisan ke-453 di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis 4/8/2016. Dalam aksi itu mereka menuntut pemerintah menyelesaikan kasus-kasus pelangaran hak asasi manusia di masa lalu dan mengkritisi pelantikan Wiranto sebagai Menko Polhukam karena dianggap bertanggung jawab atas sejumlah kasus pelanggaran HAM di lima orang mahasiswa menjadi korban. Mereka adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya BR Norma Irmawan Wawan, mahasiswa Universitas Negeri Jakarta Engkus Kusnadi, dan mahasiswa Universitas Terbuka Heru mahasiswa universitas Yayasan Administrasi Indonesia YAI Sigit Prasetyo dan mahasiswa Institut Teknologi Indonesia ITI Teddy Wardani Kusuma. Peristiwa ini juga melukai sebanyak 253 orang Semanggi IIPeristiwa ini terjadi pada 24 September 1999, saat mahasiswa menolak rencana pemberlakuan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya. Aturan yang sedianya akan menggantikan UU Subversi tersebut dianggap terlalu aksi penolakan yang dilakukan oleh mahasiswa kembali menelan korban. Tercatat 11 orang meninggal dunia akibat penembakan yang dilakukan oleh aparat satu korbannya adalah Yap Yun Hap, mahasiswa Universitas Indonesia. Yap Yun Hap tertembak tepat di depan kampus Atma Jaya SUSANTOObor hampir mati, Tragedi Semanggi II tak kunjung selesai. Sebuah obor yang hampir mati karena kehabisan bahan bakar minyak tanah menyala kecil di depan poster yang dipasang pleh Panitia Bersama Peringatan 6 Tahun Tragedi Semanggi II di depan kampus Atmajaya, Jakarta, Sabtu 24/9/2005. Puluhan mahasiswa dan keluarga korban menggelar aksi pawai obor, tabur bunga dan orasi dalam malam refleksi yang intinya mengingatkan pemerintah untuk serius menyelesaikan kasus Tragedi Semanggi II yang tak kunjung penyelidikan Komisi Penyelidik Pelanggaran KPP HAM Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II TSS pada Maret 2002 menyatakan bahwa ketiga tragedi tersebut bertautan satu sama HAM TSS juga menyatakan, “
terdapat bukti-bukti awal yang cukup bahwa di dalam ketiga tragedi telah terjadi pelanggaran berat HAM yang antara lain berupa pembunuhan, peganiayaan, penghilangan paksa, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik yang dilakukan secara terencana dan sistematis serta meluas
”.Komnas HAM melalui KPP HAM TSS merekomendasikan untuk melanjutkan penyidikan terhadap sejumlah petinggi TNI/POLRI pada masa itu. Namun, hingga saat ini Kejaksaan Agung belum meneruskan berkas penyelidikan tersebut ke tahap juga 20 Tahun Reformasi, Catatan Perubahan Indonesia di Bidang PolitikKonflik Berbasis SARASEJUMLAH kekerasan yang terjadi akibat konflik berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan menjadi noda hitam dalam perjalanan upaya menjaga Bhinneka Tunggal Ika - KOMPAS/JITETTercatat beberapa kasus yang terjadi sepanjang 20 tahun terakhir. Namun, noda paling hitam itu terjadi di Ambon, Maluku pada 1999; Poso, Sulawesi Tengah pada 2000-2001; dan Sampit, Kalimantan Tengah pada MalukuKonflik Maluku bermula dari peristiwa kerusuhan yang terjadi pada Selasa, 19 Januari 1999. Kerusuhan berawal dari bentrokan antarwarga yang dipicu kesalahpahaman di Batumerah, kemudian membesar menjadi kerusuhan antardesa yang penduduk mayoritasnya berbeda catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Kontras pada 18 Februari 1999, kerusuhan juga terjadi di berbagai tempat di Maluku dalam waktu yang hampir bersamaan, dipicu sejumlah isu yang Santhani AzisSuasana Ambon, pasca-kerusuhan berdarah di kota Ambon, Maluku pada pertengahan Agustus menyimpulkan peristiwa kerusuhan di Ambon adalah hasil proses akumulasi konflik antarkelompok yang pada mulanya bersifat lokal. Namun, karena keterlibatan peran-peran tertentu dari sejumlah provokator, konflik berubah menjadi kerusuhan dengan skala dan kerusakan yang lawatannya ke Ambon pada Minggu, 2 Oktober 2011, Wakil Presiden Jusuf Kalla menuturkan, kerusuhan yang terjadi pada 19 Januari 1999 bukanlah murni konflik Kalla, persoalan itu sebenarnya berakar dari ketidakpuasan sebagian masyarakat atas kondisi sosial politik yang kemudian menyertakan sentimen perbedaan 6 Februari 2001, Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Mediasi KPMM di Maluku mencatat, sejak Januari 1999 hingga Oktober 2000 sedikitnya telah jatuh korban orang tewas, luka-luka, dan orang lainnya PosoKonflik yang terjadi antara kelompok Muslim dengan kelompok Kristen ini terjadi dalam beberapa fase sepanjang akhir 1998 hingga umum Human Right Watch mencatat, konflik menjadi besar akibat ketidakmampuan otoritas hukum dan keamanan dalam mengatasi konflik-konflik kecil. Selain itu, faktor politik dan kondisi ekonomi ikut memperparah PRAMONOKerinduan untuk kembali ke tempat asal membuat para pengungsi asal Poso rela berdesak-desakan untuk mempersiapkan kembali rumah-rumah mereka yang rusak dan ditinggalkan selama rekonsiliasi pun dilakukan untuk meredakan konflik. Upaya itu kemudian menemui hasil dengan ditandatanganinya Deklarasi Malino pada 20 Desember rekonsiliasi, Deklarasi Malino juga menyepakati rehabilitasi sosial, pemulangan pengungsi, serta sejumlah program yang mendukung normalisasi kehidupan warga diketahui secara pasti jumlah korban akibat Konflik Poso. Namun, dikutip dari dokumentasi Kompas, pasca-Deklarasi Malino pemerintah menyiapkan anggaran Rp 100 miliar sebagai santunan atas korban tewas yang diprediksi mencapai SampitKonflik antar-etnis di Sampit, Kalimantan Tengah, bermula dari bentrokan yang terjadi pada 18 Februari 2001, antara warga suku Dayak dan suku Madura sebagai kemudian meluas ke seluruh provinsi ini, termasuk di ibu kotanya, Palangkaraya. Diduga, konflik antar-etnis tersebut dipicu oleh persaingan di bidang Danu KusworoPengungsi yang merupakan etnis Madura akibat konflik antar-etnis di Sampit, Kalimantan Tengah, periode Februari dari dokumentasi Kompas, Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Sampit. Namun, KPP HAM itu menyatakan tak ada pelanggaran HAM berat dalam kasus pernyataan tersebut kemudian dibantah Kontras yang saat itu masih dipimpin aktivis HAM Munir. Menurut Kontras, tak sulit mencari bukti adanya pelanggaran HAM dalam konflik ini. Misalnya, pengungsian paksa yang dilakukan itu, pemerintah juga dianggap melakukan pembiaran. Padahal, pemerintah telah mendapat peringatan dari Yayasan Al Miftah bahwa konflik berpotensi menimbulkan banyak korban Belanda Gerry van Klinken memprediksi korban tewas mencapai 500 orang hingga lebih dari orang. Selain itu, konflik juga menyebabkan lebih dari orang meninggalkan rumahnya untuk Pemenuhan Hak BeragamaPEMENUHAN atas hak dan kebebasan beragama masih terbilang buruk sepanjang era reformasi. Dalam kurun waktu 2008 hingga 2016 misalnya, Komnas HAM menyoroti sembilan kasus terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan KBB.Komnas HAM mengindikasikan kasus pelanggaran KBB berlangsung bertahun-tahun dan cenderung mengalami pembiaran oleh terhadap AhmadiyahPelanggaran atas hak beragama dan berkeyakinan paling parah dialami jemaah Ahmadiyah. Komnas HAM mencatat setidaknya telah terjadi pelanggaran hak asasi jemaah Ahmadiyah di 12 besar pelanggaran tersebut dilegitimasi oleh peraturan daerah, seperti Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI di Jawa Barat dan Peraturan Wali Kota Banjar Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penanganan JAI di Kota Ahmadiyah di Lombok Timur berharap bisa pulang dan puasa di rumah Ahmadiyah Indonesia menyatakan, dalam kurun 2016-2017 terdapat 11 kasus penutupan masjid Ahmadiyah. Sebagian besar penutupan masjid justru diinisiasi oleh penutupan rumah ibadah, pelanggaran atas hak sipil juga dialami oleh 116 jemaah Ahmadiyah yang berada di Permukiman Wisma Transito di Kelurahan Majeluk, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat NTB.Kasus terakhir adalah perusakan terhadap rumah dan properti milik jemaah Ahmadiyah di Lombok Timur pada Mei Mushala Asy-Syafiiyah di DenpasarPelanggaran hak atas kebebasan beragama dan beribadah juga dialami oleh umat Muslim di Denpasar, Bali, pada Mei 2008. Sebagian kelompok masyarakat melarang pembangunan mushala Asy-Syafiiyah di Kota pengurus mushala, Haji Eko mengatakan, respons sulit didapat dari pemerintah daerah terkait pengusiran dan penyegelan mushala Pendapat Litbang Kompas dan Data Konflik Sosial 2009-2012 - KOMPAS/ANDRIPengusiran ribuan anggota kelompok GafatarPada awal Januari 2016 ribuan warga anggota kelompok Gerakan Fajar Nusantara Gafatar diusir dari Mempawah, Kalimantan Barat. Mereka mengalami kekerasan dan diskriminasi saat diskriminatif juga terjadi saat mereka kembali ke daerah asal. Setelah dikembalikan ke daerah asalnya masing-masing, para warga eks Gafatar mengalami perlakuan tidak adil dari RAHMAN PATTY16 Mantan anggota Gafatar tiba di Kota Ambon, Senin 1/2/2016. Saat dibawa ke Balai Dikat Kantor Keagamaan AMbon mereka dikawal ketat aparat kepolisian bersenjata lengkapBeberapa warga mengaku mengalami pengusiran, pencabutan KTP, dan pencantuman data pernah terlibat dalam kegiatan kriminal dalam Surat Keterangan Catatan Kepolisian SKCK.Peristiwa kekerasan dan perlakuan diskriminatif yang menimpa anggota kelompok Gafatar tak lepas dari hasil keputusan bersama Kejaksaan Agung dengan Kementerian Agama dan Kementerian Dalam keputusan bersama tersebut menyatakan bahwa Gafatar merupakan kelompok yang memiliki ajaran agama yang menyimpang dari ajaran pembangunan gereja di Aceh SingkilPada 22 April 2016, Forum Cinta Damai Aceh Singkil Forcidas menyampaikan pengaduan terkait adanya diskriminasi dalam mendirikan Forcidas Boas Tumangger mengatakan bahwa pemerintah kabupaten tidak bisa mengakomodasi hak-hak yang seharusnya diterima oleh kelompok umat Nasrani, terkait pemberian izin pembangunan rumah menuturkan, sebelum maupun sesudah peristiwa pembakaran gereja HKI pada 13 Oktober 2015, izin pembangunan gereja dipersulit. Padahal, seluruh persyaratan yang tercantum dalam Peraturan Gubernur Tahun 2007 tentang Izin Pendirian Rumah Ibadah telah PRANSISKASejumlah rohaniawan dan perwakilan umat beragama menggelar aksi damai di depan Gedung MPR/DPR/DPD RI di Senayan, Jakarta, Senin 8/4/2013. Mereka menyampaikan tuntutan kepada Pimpinan MPR untuk meminta jaminan kebebasan dan toleransi dalam beribadah terhadap sesama umat soal perizinan tempat ibadah, Boas juga mengadu mengenai pendidikan di Aceh Singkil yang belum bebas dari praktik dia, sudah berpuluh-puluh tahun semua Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Aceh Singkil tidak memiliki guru agama Nasrani. Padahal, pelajaran agama menjadi satu syarat bagi kelulusan terhadap warga Syiah di SampangPeristiwa ini terjadi pada Agustus 2012. Satu orang tewas, empat orang lainnya kritis, dan puluhan rumah terbakar akibat penyerangan terhadap warga Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur. KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASAWarga Syiah korban kekerasan terkait agama di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur, bersepeda melintas di Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu 5/6/2013. Mereka bersepeda dari Madura menuju Istana Negara, Jakarta, untuk menuntut kejelasan sikap pemerintah dalam penyelesaian konflik bernuansa Syiah yang mengungsi di GOR Kabupaten Sampang juga mengalami tekanan dalam bentuk lain, yakni berupa tekanan untuk pindah keyakinan dan meninggalkan laporan Kontras Surabaya menyebutkan, sembilan kepala keluarga didesak untuk membuat surat pernyataan keluar dari surat pernyataan itu tertera, diketahui dan disaksikan oleh sejumlah pejabat dan tokoh agama setempat, seperti Polres Sampang, Kemenag Sampang, Bakesbang Pol, Sat Brimob Polda Jatim, dan camat HKBP Filadelfia di BekasiSelama hampir 16 tahun umat Gereja Huria Kristen Batak Protestan HKBP Filadelfia Bekasi belum bisa beribadah dengan tenang. Padahal, Izin Mendirikan Bangunan IMB gereja sudah mereka majelis gereja, Pasauran Siahaan, menilai, pemerintah daerah tidak memiliki niat baik untuk menyelesaikan polemik yang dialami jemaat pemda terkesan melakukan pembiaran terhadap sekelompok masyarakat dari luar wilayah Bekasi yang menolak pembangunan gereja. SURYOWATIRatusan jemaat Gereja Kristen Indonesia GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia melaksanakan ibadah Paskah di seberang Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Minggu 9/7/2017. Ibadah di depan Istana ini dilakukan karena gereja mereka yang berada di wilayah Bogor dan Bekasi masih disegel oleh pemerintah daerah Gereja Yasmin di BogorGKI Yasmin disegel oleh Satpol PP Kota Bogor pada 10 April 2010 sebagai pelaksanaan perintah wali kota. Semenjak saat itu, umat beribadah di halaman gereja dan di selalu mendapat intimidasi, umat mengalihkan tempat ibadah di rumah PTUN Bandung dan PTUN Jakarta memenangkan GKI Yasmin dalam sengketa IMB yang berbuntut penyegelan melalui keputusan Nomor 127 PK/TUN/2009 tertanggal 9 Desember 2010 juga telah menolak permohonan peninjauan kembali PK yang diajukan Pemkot PHOTO/ADEK BERRYMeski terik dan sempat turun hujan, jemaat Gereja Yasmin dan HKBP Filadelfia tetap melaksanakan ibadah di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Rabu 25/12/2013. Mereka memprotes kasus pembangunan gereja yang tak kunjung saat itu, Wali Kota Bogor justru menerbitkan Surat Keputusan Nomor Tahun 2011 tentang Pencabutan IMB GKI Yasmin, tertanggal 11 Maret Wali Kota Bogor tidak mau mematuhi putusan MA tersebut karena adanya pemalsuan tanda tangan oleh Munir Karta yang kala itu menjabat sebagai ketua RI kemudian mengeluarkan rekomendasi dengan nomor 0011/REK/ pada 8 Juli 2011 mengenai pencabutan keputusan Wali Kota Bogor tentang IMB GKI Yasmin, tetapi tetap tidak ada tindakan dari Pemerintah Kota TolikaraKerusuhan di Tolikara, Papua, terjadi pada 17 Juli 2015. Peristiwa tersebut terjadi ketika massa Gereja Injili di Indonesia GIDI berusaha membubarkan jemaah Muslim yang tengah menjalankan shalat Idul LEEBekas kios yang terbakar akibat kerusuhan di Kecamatan Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, Senin 20/7/2015. Berbagai pemangku kepentingan di Karubaga menegaskan bahwa kendati konflik diawali penolakan salat id, tetapi konflik disebabkan faktor imam Mushala Baitul Muttaqiem di Karubaga, Ali Mukhtar, konflik disebabkan mengaku, pihaknya tak menerima surat edaran dari GIDI yang telah direvisi, yang meminta pelaksanaan shalat agar dilakukan di mushala tanpa menggunakan pengeras suara. Oleh karena itu, ia tetap menggelar shalat Id di halaman itu dikeluarkan pengurus GIDI karena mereka menggelar kegiatan kepemudaan tingkat nasional di lokasi yang berjarak sekitar 200 meter dari lokasi shalat PapuaSELAMA era Orde Baru, Papua sering kali dianggap sebagai provinsi yang kurang mendapat perhatian. Padahal, Papua menghasilkan sejumlah kekayaan alam yang menjadi sumber penghasilan era reformasi berjalan, sejumlah perubahan sebenarnya telah dilakukan. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanahkan otonomi daerah memberikan sejumlah keistimewaan bagi yang kini terdiri dari dua provinsi, Papua dan Papua Barat, kemudian mendapat status daerah dengan otonomi khusus sejak masih terdapat sejumlah masalah, terutama terkait pelanggaran HAM. Berikut ini pelanggaran HAM beratPada periode 1998 hingga 2016, tercatat lima kasus pelanggaran berat HAM terjadi di kasus itu adalah kasus Biak Numfor pada Juli 1998, peristiwa Wasior pada 2001, peristiwa Wamena pada 2003, peristiwa Paniai pada 2014, dan kasus Mapenduma pada Desember umum, kasus pelanggaran HAM itu terkait cara aparat keamanan dalam menangani aksi demonstrasi masyarakat Papua. Isu disintegrasi yang membayangi Papua memperparah Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan, pemerintah memprioritaskan penyelesaian lima kasus pelanggaran berat HAM PRANSISKAMasyarakat dari National Papua Solidarity berunjuk rasa di kantor perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jakarta, Kamis 30/8/2012. Mereka meminta PBB memberikan perhatian khusus kepada demokrasi, pelanggaran HAM, dan tragedi kemanusiaan di pun membentuk Tim Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menkopolhukam RI Nomor 40 Tahun menjelaskan, penanganan kasus Wasior dan Wamena saat ini berada dalam koordinasi Komnas HAM bersama Kejaksaan Agung telah mengembalikan berkas penyelidikan kepada Komnas HAM selaku penyelidik agar mereka melengkapi berkas penyelidikan yang belum lengkap terkait pelaku, korban baik dari sipil maupun kelompok separatis bersenjata, visum et repertum korban, dukungan ahli forensik, dan dokumen Surat Perintah untuk kasus Paniai, Mapenduma, dan peristiwa Biak Numfor, penanganannya masih berada dalam tahap penyelidikan oleh Komnas pembunuhan TheysPada 10 November 2001, Theys Hiyo Eluay dan sopirnya, Aristoteles Masoka, dikabarkan hilang dan diculik oleh orang tak dikenal. Theys merupakan Ketua Presidium Dewan Papua. Sehari kemudian, Theys ditemukan tewas di dalam mobilnya di Skouw, tak jauh dari perbatasan RI-Papua Niugini. Adapun Aristoteles Masoka sampai sekarang belum HASBYKetua Presidium Dewan Papua, Theys Hiyo Eluay Kematian Theys merupakan kasus yang diduga sarat dengan motif politik dan kepentingan. Berdasarkan catatan Kontras, ada beberapa hal yang berkaitan erat dengan peristiwa pembunuhan dokumen Departemen Dalam Negeri Juni 2000 tentang rencana operasi pengondisian wilayah dan pengembangan jaringan komunikasi dalam menyikapi arah politik Papua untuk fakta di lapangan menunjukkan ada peningkatan kekerasan sampai kematian Theys, dan kekerasan menurun drastis setelah pembunuhan kasus ini, tujuh anggota TNI dihadapkan ke pengadilan militer. Tujuh terdakwa yang disidangkan di Mahkamah Militer Tinggi III Surabaya, Rabu 5 Maret terdakwa itu adalah Letkol Inf Hartomo, Mayor Inf Donni Hutabarat, Kapten Inf Rionardo, Lettu Inf Agus Suprianto, Sertu Asrial, Sertu Laurensius LI, dan Praka Achmad Militer menuntut mereka hukuman 2-3 tahun penjara. Dalam sidang, Oditur Militer menyatakan para terdakwa terbukti elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Solidaritas Nasional untuk Papua SNUP menilai proses pengadilan yang berlangsung merupakan upaya memutus rantai komando saja, bertentangan dengan prinsip imparsial, dan hanya digunakan untuk mengukuhkan impunitas aparat militer yang 2014, Komnas HAM mulai membuka kembali masalah pembunuhan Theys dan hilangnya Aristoteles HAM mempelajari salinan berkas dari Pengadilan Mahkamah Militer terkait kasus 13 tahun sebelumnya itu. Dari salinan berkas terungkap, para pelaku pembunuh Theys mengakui bahwa mereka sedang melaksanakan tugas lain yang didapatkan dari berkas tersebut, Theys disiksa terlebih dahulu sebelum dieksekusi. Baca juga Rezim Soekarno, Soeharto, dan 20 Tahun Reformasi dalam Hal EkonomiPembunuhan MunirHINGGA saat ini, kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib masih menjadi misteri. Aktivis yang akrab disapa Cak Munir itu meninggal dunia pada 7 September diracun dalam penerbangan Garuda Indonesia GA-974 dari Jakarta menuju Amsterdam, yang transit di itu, pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Kontras itu hendak melanjutkan jenjang pendidikan di Belanda. KOMPAS/M Yuniadhi AgungSejumlah korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia HAM menggelar aksi solidaritas untuk aktivis pejuang HAM, Munir almarhum, di Kantor Komisi Nasional Komnas HAM, Jakarta, Selasa 23/11. Mereka meminta Komnas HAM untuk segera membentuk tim penyelidik independen guna mengusut kematian peradilan telah dilakukan untuk mengadili pelaku pembunuhan kasus ini, pengadilan telah menjatuhkan vonis 14 tahun penjara terhadap Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang saat itu sedang cuti tetapi ada di penerbangan yang sama dengan Munir, sebagai pelaku pembunuhan fakta persidangan juga menyebut adanya dugaan keterlibatan petinggi Badan Intelijen Negara BIN dalam kasus pembunuhan pada 13 Desember 2008, mantan Deputi V BIN Mayjen Purn Muchdi Purwoprandjono yang juga menjadi terdakwa dalam kasus ini divonis bebas dari segala tahun berselang, istri almarhum Munir, Suciwati, dan para aktivis HAM lainnya tetap meminta pemerintah mengusut tuntas kasus tersebut dan mengungkap siapa yang menjadi dalang ErdiantoSuciwati, istri Munir, saat membacakan surat yang ia tulis untuk Presiden Joko Widodo di Aksi Kamisan ke 505, di Seberang Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis 9/7/2017.Menurut Suciwati, Presiden Joko Widodo pernah berjanji akan menuntaskan kasus Munir saat mengundang 22 pakar hukum dan HAM pada 22 September 14 Oktober 2016, Presiden Jokowi—sebutan atau panggilan untuk Joko Widodo—menunjuk dan meminta Jaksa Agung segera bekerja menindaklanjuti kasus Munir berdasarkan temuan Tim Pencari Fakta TPF Kasus kematian hingga saat ini, Suciwati menilai pemerintah terkesan saling lempar tanggung jawab meski Komisi Informasi Pusat KIP mengabulkan permohonan informasi dan meminta pemerintah mengumumkan hasil investigasi Suciwati dan Kontras berlanjut pada gugatan ke KIP. Dalam sidang putusan, KIP menyatakan bahwa pemerintah diminta segera mengumumkan hasil penyelidikan TPF kasus kematian Munir seperti yang dimohonkan oleh Pemohon, yakni Kementerian Sekretariat Negara Kemensetneg mengajukan banding atas putusan tersebut. PTUN Jakarta mengabulkan banding SUSANTOAktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan mengenang 10 Tahun Kasus Munir dalam aksi Kamisan di Istana Negara, Kamis 4/9/2014. Pegiat HAM mendesak penegak hukum untuk membuka kembali kasus Munir untuk menjerat dan menghukum auktor intelektualis di balik pembunuhan Munir. Atas Putusan PTUN, Kontras mengajukan kasasi ke MA pada 27 Februari 2017. MA memutuskan menolak kasasi saat ini belum diketahui alasan pembunuhan Munir. Sejauh ini, dugaan yang muncul adalah pembunuhan terkait upaya Munir dalam mengungkap dan menuntut pertanggungjawaban atas sejumlah pelanggaran HAM berat di masa lalu. Selama 2021, Ada 4 Aduan Pelanggaran HAM di Maluku Utara 29 Desember 2021 foto_randi TERNATE, OT - Kantor Wilayah Kanwil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kemenkumham Maluku Utara, mencatat ada 4 aduan masyarakat terkait pelanggaran HAM selama tahun 2021. Kepala Kanwil Kemenkumham Malut, M Adnan mengatakan, sepanjang tahun 2021 Kanwil Kemenkumham Malut hanya menerima aduan masyarakat terkait pelanggaran HAM sebanyak 4 dan semuanya terkait sengketa pertanahan. Kata Adnan, dari 4 aduan sengketa tanah ini masih di kota Ternate dan 2 sengketa tanah sudah diselesaikan melalui rapat mediasi bersama, baik yang dipimpin Kakanwil maupun Kepala Kanwil Kementerian ATR/BPN Malut serta pihak lain untuk menyelesaikan persoalan tersebut. "Sementara untuk dua sengketa tanah lainnya masih ditelaah untuk dikaji lebih dalam lagi," ujar Adnan, Rabu 29/12/2021. Dia mengaku, untuk 2 sengketa tanah ini nantinya tim akan lebih dulu melakukan kajian lebih dalam dan tim juga akan memberikan rekomendasi, agar pihak sengketa tanah saling menjaga agar tidak terjadi bentrok. "Pastinya untuk tahun 2021 ini kita hanya menerima 4 aduan masyarakat terkait sengketa tanah dan itu dua kasusnya sudah selesai dan duanya lagi dalam tahapan kajian tim untuk diselesaikan," pungkasnya.ian Reporter RyanEditor Fauzan Azzam

pelanggaran ham di maluku